JatengHukum & Kriminal

Aksi Damai Kasus Skandal Penjualan Aset Negara

inilahjateng.com (Semarang) – Puluhan karyawan PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan PT Rumpun menggelar aksi damai di depan Pengadilan Negeri (PN) Semarang untuk mengawal jalannya persidangan kasus dugaan penjualan ilegal aset negara senilai Rp 237 miliar.

Mereka menuntut keadilan dan meminta hakim bersikap independen dalam menangani perkara yang menyeret mantan Direktur Utama PT RSA berinisial ‘A’.

Dalam aksinya, para karyawan juga meletakan karangan bunga, dengan salah satunya bertuliskan “Selamatkan Tanah Negara & 237 Miliar, Uang Rakyat Cilacap”.

Kasus tersebut merupakan, penjualan lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 717 hektare di Desa Carui, Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap, yang dilakukan oleh ‘A’ tanpa persetujuan pemegang saham dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 237 miliar.

Direktur PT Rumpun, Muttaqin, dan Direktur PT RSA, Isdianarto Aji, mengungkapkan hasil penjualan lahan tersebut diduga dialihkan ke rekening di luar perusahaan.

Dampak dari transaksi ilegal ini pun meluas, tidak hanya menyebabkan pergantian Direktur Utama tetapi juga berujung pada gugatan hukum yang kini tengah diproses di PN Semarang.

Baca Juga  Bupati Brebes Nekad Hadiri Retreat di Magelang

Pihak RSA dan PT Rumpun menegaskan, pencopotan ‘A’ dari jabatan Direktur Utama merupakan langkah penyelamatan perusahaan.

“Akibat penjualan yang tidak sah tersebut, negara mengalami kerugian besar, sementara perusahaan terkena sanksi berat dari Kantor Pajak, termasuk pemblokiran rekening perusahaan serta administrasi hukum umum (AHU) karena adanya tunggakan pajak mencapai Rp 10 miliar,” ungkapnya Kamis (6/2/2025).

Dalam upaya menghindari dampak yang lebih besar, lanjutnya, Yayasan Rumpun Diponegoro bersama PT Rumpun selaku pemegang saham mayoritas, mengambil keputusan untuk mencopot dan mengganti ‘A’ dari jabatan Direktur Utama melalui Keputusan Sirkuler berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

“Keputusan tersebut telah dikukuhkan oleh Kemenkumham pada Mei 2024 sebagai tindakan antisipatif agar tidak terjadi kerugian lebih lanjut,” katanya.

Sementara, proses hukum terhadap ‘A’ terus berjalan. Dugaan penggelapan uang perusahaan yang dilakukannya kini telah memasuki tahap penyidikan di Polda Jawa Tengah.

Baca Juga  USM Terima Kunjungan Pusat Riset KKEK BRIN

Selain itu, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah juga tengah menyelidiki indikasi tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait kasus ini.

Dalam upaya membela diri, ‘A’ mengajukan empat gugatan perdata di PN Semarang terhadap Pembina Yayasan, PT RSA, dan PT Rumpun.

Gugatan tersebut tercatat dalam beberapa perkara, yakni No. 275/Pdt.G/2024/PN Smg (4 Juni 2024), No. 312/Pdt.G/2024/PN.Smg (27 Juni 2024), No. 311/Pdt.G/2024/PN.Smg (27 Juni 2024), dan No. 346/Pdt.G/2024/PN.Smg (16 Juli 2024).

Menurut pihak tergugat, langkah hukum yang ditempuh ‘A’ diduga bertujuan untuk mencari legitimasi atas penjualan lahan di Carui serta pengalihan dana hasil transaksi tersebut.

Direktur PT Rumpun, Muttaqin, menegaskan pentingnya integritas aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara ini.

Ia mengingatkan agar tidak ada celah bagi praktik koruptif seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Surabaya, di mana majelis hakim dan Ketua Pengadilan terbukti menerima suap dari mafia peradilan.

“Kasus ini merupakan bagian dari maraknya praktik mafia tanah yang mengancam kedaulatan negara, oleh karena itu, pengawasan dari masyarakat dan media sangat diperlukan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam proses peradilan,” ujarnya.

Baca Juga  Pemkab Jepara Anggarkan Rp 57,3 Miliar untuk THR PNS

Pihak PT Rumpun berharap agar publik tetap kritis dan tidak terjebak pada narasi bahwa pencopotan ‘A’ dari jabatannya dilakukan secara semena-mena.

Mereka menegaskan, kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya penyelamatan perusahaan dan menghindari dampak lebih lanjut.

“Kehadiran karyawan dan pengurus yayasan di PN Semarang juga bertujuan untuk memastikan hakim mengambil keputusan yang seadil-adilnya,” tegasnya.

Dampak dari kasus ini pun turut dirasakan oleh Pemerintah Kabupaten Cilacap.

Tanah yang telah dijual secara ilegal oleh ‘A’ ternyata dibeli oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setempat, namun hingga kini tidak dapat dimanfaatkan karena masih berstatus sengketa hukum.

Proses persidangan kasus ini terus bergulir, dan publik menantikan putusan yang benar-benar mencerminkan keadilan serta tidak membuka celah bagi praktik mafia tanah yang selama ini menjadi ancaman bagi aset negara. (BDN)

Back to top button