Dicabut Sepihak, Pengacara Pemilik Lahan Tambang di Papua Buka Suara

inilahjateng.com (Salatiga) – Eks pengacara pemilik lahan tambang di Kampung Sawe Suma, Distrik Urunum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua yang kini menjadi sumber konflik dengan investor asal Kota Salatiga akhirnya buka suara.
Ia adalah Petrus Wekan dari Kantor Hukum Fiat Justicia Ruat Caelum & Partner yang datang langsung memberi keterangan kepada media di Kota Salatiga.
Petrus mengatakan, semula memang ditunjuk menjadi kuasa hukum pemilik lahan di Kampung Sawe Suma atas nama Yohan Yasa. Pada jalinan kerjasama itu, disepakati rencana bisnis bersama pertambangan emas.
“Adapun, kemarin secara sepihak surat kuasa dicabut sepihak anak Pak Ondo Yohan bernama Barnabas Yasa pada Sabtu (22/6/2024) itu klaim sepihak. Karena apa? sebelumnya kami semua masih bertemu tanggal 13 Mei di Jayapura, Papua,” terangnya saat jumpa pers di Hotel Laras Asri Salatiga, Selasa (25/6/2024).
Petrus melanjutkan, pencabutan surat kuasa secara sepihak oleh anak pemilik lahan dinilai tidak sah.
Bahkan, kata dia dicabutnya surat kuasa setelah muncul konflik diduga kuat sebuah skenario yang telah direncanakan dari awal.
Ia menambahkan, dicabutnya surat kuasa yang penuh rekayasa itu melatarbelakanginya datang langsung ke Kota Salatiga.
Adapun, pencabutan surat kuasa juga musti dilengkapi dokumen jelas.
“Sedang saya, sampai sekarang belum menerima surat (pencabutan) itu. Jadi, ini penuh rekayasa. Saya dan Marten Basaur beserta istrinya Linda masih sempat ketemu. Jadi, seharusnya, masih kuasa pendampingan hukum lahan masih pada saya,” katanya.
Petrus bercerita, permasalahan antara pemilik lahan tambang dengan investor emas asal Kota Salatiga bernama Nicholas Nyoto Prasetyo pemilik perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) bermula pencarian investor.
Dia memaparkan, singkatnya melalui pihak rekanan tambang emas Marten Basaur dan William Stroyer dicarikan investor. Kemudian, lewat kakak William terhubung dengan Nicholas.
“Kakak William bernama Ismail Stroyer lalu semua ketemu dan kenal. Kemudian, tercapai kesepakatan kerja. Hanya, bukan lewat Marten tapi melalui Max Ohe sekaligus Wakil Ketua Majelis Rakyat (MRP). Pak Max ini juga punya organisasi Barisan Merah Putih (BMP) Papua,” ujarnya.
Petrus menegaskan, penunjukkan Max Ohe atas dasar pertimbangan yang bersangkutan warga asli Papua.
Sedangkan, Marten Basaur bukan asli orang Papua. Sebenarnya kata dia, pangkal persoalan sebatas miskomunikasi.
Sebelumnya juga, sudah ada pembayaran awal senilai Rp 20 juta kepada pemilik lahan Ondo Yohan Yasa.
Namun, dalam perjalanan persoalan semakin rumit bahkan muncul beragam permintaan dana bernilai ratusan juta sampai miliaran rupiah.
“Itu uang muncul setelah ada pemerataan lahan. Sebenarnya, saya datang ke Salatiga ini untuk backup Marten. Karena, kontrak kerjasama antara BMP dan pemilih lahan tidak ada hubungan dengan investor,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya pengacara anak pemilik lahan Alvares Guarino mengklaim surat kuasa pengurusan lahan tambang dengan investor asal Kota Salatiga telah dicabut.
Selanjutnya, anak pemilik lahan atas nama Barnabas Yasa menguasakan sepenuhnya pengurusan ganti rugi kerusakan lahan hutan di Papua kepada Marten Basaur beserta kuasa hukum Alvares Guarino.
“Itu (surat kuasa) sudah dicabut dari pengacara Petrus Wekan. Itu, nggak jadi datang ke Salatiga (Petrus) sekarang anaknya pemilik lahan datang langsung dan minta ganti rugi,” tandasnya.
Sebelumnya, diberitakan konflik antara warga Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua bermula saat Investor Tambang asal Salatiga Nicholas Nyoto Prasetyo berniat untuk investasi untuk pembukaan tambang emas.
Setelah melalui serangkaian survei dan pembicaraan dengan ketua adat, pada 20 Februari 2024 terjadi kerjasama sistem bagi hasil.
Namun pihak perusahaan justru membabat hutan. Selain itu, pembayaran kompensasi juga tidak dilakukan. (RIS)