Harga Minyak Dunia Berpotensi Naik, Begini Nasib Pengguna BBM Bersubsidi

inilahjateng.com (Jakarta) – Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mewanti-wanti potensi kembali memanasnya Iran-Israel.
Jika benar terjadi, akan memaksa Indonesia berhadapan dengan ketidakpastian baru dan potensi risiko-risiko yang harus diantisipasi.
Salah satunya, soal subsidi BBM yang bisa membengkak.
Dia mengatakan, pemerintah harus menyiapkan berbagai skenario antisipasi harga minyak tembus USD100, jika perang Iran-Israel berlanjut.
“Risiko ketika kita menaikkan harga BBM, pasti ke price inflation. Tapi menurut saya, inflasi naik pun sepanjang itu tidak menimbulkan tekanan yang berat terhadap APBN, masih bisa dibagi antara negara dan kepada konsume,” kata dia secara virtual dalam diskusi bertajuk ‘Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia’, dipantau di Jakarta, Minggu (29/6/2025).
“Karena apa? Alokasi subsidi kita itu ada di dua tempat yaitu di BBM dan energi dan sebagian energi kita itu, juga berasal dari bahan baku yang BBM-nya di subsidi, ini yang kita harus antisipasi,” kata dia menambahkan.
Misbakhun bilang, situasi harga minyak terkini masih dalam range yang moderat, harga per barel masih belum melewati USD80, masih di kisaran USD70.
Dia menjelaskan Indonesian Crude Price (ICP) di APBN 2025 yakni di kisaran USD82/barel, akan tetapi kenaikan sudah mulai terlihat, ada yang sudah naik ke angka USD76 bahkan USD79.
“Artinya dari sisi harga minyak kita masih sangat aman, dan itu artinya subsidi BBM, subsidi energi kita masih bisa dikategorikan was-was, tapi secara riil masih dalam kontrol sepenuhnya di dalam angka-angka APBN,” ujar dia.
Misbakhun mencoba menenangkan publik, Dia bilang, bila harga minyak tembus di atas USD100, maka inflasi masih sangat aman di angka 2,7 persen.
“Tapi perlu juga dicatat apabila minyak mengalami kenaikan biasanya akan ada komoditas yang juga mengalami kenaikan harga yaitu batubara, nikel, sumber daya alam lainnya, termasuk CPO juga akan mengalami kenaikan tentunya kalau mereka mengalami kenaikan harga akan ada situasi penerimaan pajak mengalami kenaikan,” tandasnya.
Asal tahu saja, letak Iran dan Israel merupakan jalur pelayaran ekspor dunia.
Konflik di wilayah tersebut tentu memaksa negara-negara mencari jalur perdagangan lain yang kemungkinan menempuh jarak lebih jauh.
Dengan jarak yang lebih jauh, kebutuhan logistik akan semakin mahal sehingga harga jual juga secara otomatis akan meningkat.
Hal ini dapat mengganggu rantai pasok dunia.
Sebagai negara pengimpor minyak, meningkatnya harga minyak dunia berpengaruh terhadap bertambahnya pembiayaan yang harus dikeluarkan Indonesia.
Meski jumlah ekspor Indonesia ke Timur Tengah memang kecil, tetapi permasalahan terletak pada posisinya sebagai jalur pelayaran.
“Sebetulnya ekspor kita ke Timur Tengah tidak begitu besar, tidak sampai lima persen dari jumlah ekspor kita. Tetapi, Timur Tengah itu jalur pelayaran ke Eropa, sehingga kalau ada masalah, otomatis biaya logistik ke Eropa semakin mahal. Kalau logistik mahal, otomatis ekspor kita menurun karena importir di Eropa akan mengalihkan ekspor ke negara lain yang lebih murah,” tutur Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) Rossanto Dwi Handoyo. (RED)