Indonesia Tidak Akan Hadapi Tren Pengunduran Diri Tenaga Kerja Seperti di Amerika
Direktur Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) Arif Hadiwinata menjelaskan adanya tren baru di pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yaitu banyaknya pengunduran diri hebat dirasa tidak akan terjadi di Indonesia.
“Saya sih ngeliatnya enggak. Pertama karena 97 persen tenaga produktif kita yang bergerak di bidang UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), jadi kalau pengunduran diri nampaknya bukan sulit dilakukan, tetapi kalau UMKM itu mengenalnya bukan pengunduran diri tetapi alih usaha atau fokus usahanya dialihkan,” ujar Arif Hadiwinata saat dihubungi INILAH.COM, Jakarta, Rabu, (17/11/2021).
Mengutip dari Statista, angka The great resignation menurut laporan JOLTS terbaru, rekor jumlah 4,4 juta orang Amerika meninggalkan pekerjaan mereka pada bulan September, mempercepat tren yang dikenal sebagai Pengunduran Diri Hebat.
Jumlah orang Amerika yang berhenti sekarang telah melampaui tertinggi pra-pandemi selama enam bulan berturut-turut, karena pengusaha, terutama di sektor berupah rendah, berjuang untuk mengisi posisi terbuka.
Alasan untuk tren ini tentu saja bermacam-macam, tetapi satu pendorong utama tampaknya adalah bahwa banyak pekerja tidak lagi bersedia menerima gaji dan atau kondisi kerja yang (mungkin dengan enggan) mereka terima sebelum pandemi.
“Saya tentu berpikir bahwa pandemi telah membuat banyak orang mengevaluasi kembali pekerjaan dan prioritas mereka dan apa yang ingin mereka lakukan,” kata Elise Gould, ekonom senior di Economic Policy Institute dalam sebuah pernyataan kepada Business Insider.
Fakta bahwa tingkat berhenti sangat tinggi di sektor-sektor dengan sejumlah besar pekerja garis depan, misalnya, perhotelan, perawatan kesehatan dan ritel, menunjukkan bahwa masalah keamanan juga berperan dalam eksodus pekerja, terutama dalam menghadapi varian Delta yang sangat menular.
Masih menurut Arif, di Indonesia hal tersebut tidak akan terjadi karena jumlah tenaga kerja di baris terdepan seperti tenaga kesehatan (nakes) masih kurang. Namun kemungkinan akan mengundurkan diri pada 2022 ketika menghadapi varian delta yang lebih ganas, hal tersebut tidak bisa diprediksi lebih dini.
“Kalau di Indonesia saya pikir di sektor-sektor tersebut (pariwisata, perhotelan, perawat kesehatan dan ritel) jumlah tenaga kerjanya masih kurang. Untuk sektor depan itu ya. Kita lihat rasio nakes dengan penduduk rasionya masih kecil sekali. Tapi apakah mereka ingin resign di tahun 2022 kalau dihadapkan dengan varian delta yang lebih ganas saya belum tahu. tapi nampakhnya kecil kemungkinan kalau di Indonesia,” tambahnya.
Arif menambahkan, adanya optimisme di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan kasus yang ada di Amerika.
“Kalau saya melihatnya relatif lebih optimis kalau untuk sektor seperti ini. Karena pertama kita tidak seperti di Amerika yang relatif standar pekerjanya lebih tinggi. Kalau mereka punya aspirasi untuk berhenti bisa dikerahkan lewat serikat pekerja kemudian bisa menuntut banyak hal gitu. Kalau di kita ini, relatif masih belum terorganisir seperti di sana. Ini sebenarnya berita baik dan berita buruk juga,” ujarnya.
Baiknya, masih menurutnya, Indonesia tidak akan seperti menghadapi resignasi besar-besaran, berita buruknya adalah sistem tenaga kerja untuk garis terdepannya masih relatif belum sempurna di Indonesia.