
inilahjateng.com (Semarang) – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang mencatat hingga 12 November 2024, kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak di Kota Semarang meningkat hingga 244 kasus.
Dari jumlah kasus kekerasan tersebut, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menduduki posisi pertama dengan jumlah 131 kasus.
Hal ini yang membuat DP3A bersama Garpu Perak (Gerakan Pria Peduli Perempuan dan Anak) terus melakukan kampanye, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk menekan angka kasus kekerasan.
“Kami (DP3A) bersama Garpu Perak menggerakkan laki-laki untuk peduli terhadap tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dengan adanya Garpu Perak kami terbantu untuk memberikan edukasi khususnya kepada kaum laki-laki,” kata Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Kota Semarang, Sri Martini usai kegiatan rapat koordinasi Garpu Perak di Aula Gedung Puspaga di Banyumanik Kota Semarang, Selasa (12/11/2024).
Diakui Sri Martini, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Sehingga peran laki-laki sangat diperlukan untuk meredam kasus tersebut. Apalagi selama ini kasus kekerasan biasanya disebabkan oleh kaum lelaki.
“DP3A support anggaran untuk edukasi ini. Semoga angkanya stagnan disini. Dengan adanya JPPA, peran masyarakat melalui Garpu Perak ini bisa mengurangi angka kekerasan khususnya terhadap perempuan dan anak,” tuturnya.
Sri Martini mengatakan penyebab tingginya kasus KDRT di Kota Semarang adalah perekonomian, pendidikan dan kepadatan penduduk.
Misalnya dalam satu rumah terdapat beberapa kepala keluarga (KK) maka hal tersebut juga bisa memicu adalah KDRT mulai dari tindak kekerasan psikis hingga seksual.
“KDRT itu tidak hanya bapak, ibu dan anak tapi ada orang lain seperti orang tua, kakak atau adik yang tinggal di dalam keluarga itu,” terangnya.
Ketua Forum Garpu Perak Kota Semarang, Harry Waluyo mengatakan Garpu Perak sendiri memiliki tiga kelompok kerja (pokja) yang saling berkoordinasi untuk memberikan kampanye, sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat untuk mencegah dan menekan kasus kekerasan.
“Pada intinya kami melakukan kampanye, sosialisasi, kegitan dalam rangka merubah perilaku laki-laki. Di adat Jawa ada budaya patriarki di mana laki-laki mempunyai ego yang tinggi, selalu menang,” jelas Harry.
Harry menjelaskan dalam konsep Garpu Perak ini perlu ada kesetaraan gender antara peran laki-laki dan perempuan. Ia menjelaskan harus ada persamaan dalam berbagai hal antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada dikotomi tugas dalam membangun rumah tangga.
“Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga ini harus berdasar diskusi dan kesepakatan suami istri sehingga diharapkan rumah tangga harmonis dan bahagia yang berujung pada berkurangnya kasus kekerasan,” paparnya.
Garpu Perak sendiri masuk ke berbagai organisasi, misalnya PGRI yang bisa mensosialisasikan pada para guru tentang kesetaraan.
“Program kerja ada beberapa mulai dari pendampingan calon pengantin untuk mengedukasi bahwa laki-laki dan perempuan ada kesetaraan,” pungkasnya. (LDY)