Jateng

Kisah Perjuangan : Pasukan Perakit Bom Pelajar SMK di Semarang

inilahjateng.com. (SEMARANG) – Anak-anak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Semarang punya peran penting dalam kemerdekaan.

Dalam membendung serangan penjajah, para pelajar SMK itu membentuk satu kelompok khusus dengan nama “Bomber Jiwa”.

Kelompok pasukan itu punya satu keahlian khusus yakni merakit bom. Oleh karena itu banyak sekali kinerja mereka yang membantu melindungi Semarang dari para penjajah khususnya pasukan Belanda.

Kiprah Bomber Jiwa ini dijelaskan secara gamblang oleh salah seorang Purnawirawan TNI, Kolonel Nursahit.

“Mereka memang menguasai alat-alat peledak. Jiwa mereka ada di situ, makanya disebut Bomber Jiwa,” ucapnya saat ditemui di rumahnya di daerah Jatingaleh.

Keahlian yang mereka miliki itu berawal dari penjajahan di zaman Jepang. Kala itu memang ketika menguasai Indonesia, Jepang sempat mengontrol pendidikan dengan organisasi Jawa Hokokai.

Alhasil, jika ada sekolah yang akan didirkan harus ada perizinan dari Jepang. Dari kontrol itu Jepang menanamkan berbagai doktrin kepada para pelajar.

Doktrin yang diberikan oleh Jepang itu bermuara untuk ambisi untuk menyatukan Asia Timur Raya dalam satau kepemimpinan di bawah Kaisar Jepang.

Baca Juga  Tim PkM USM Beri Pelatihan Pengembangan Jiwa Wirausaha di Kelurahan Kaligawe

Selain doktrin, Jepang juga menerapkan Nippon Seisyin atau latihan kemiliteran. Dari situlah para pelajar SMK tadi belajar merakit bom.

Beberapa saat kemudian, Jepang angkat kaki dari Indonesia karena kalah perang di pasifik, namun usai pergi dan Indonesia merdeka, Belanda kembali datang dan hendak mengambil-alih negara lagi.

Nursahit dengan ingatan yang samar memaparkan, pada 1946, Belanda datang lagi dengan membawa sekutu. Praktis pergolakan kembali terjadi.

“Namun para pelajar yang sudah belajar mengenai bom dari Surabaya, Pacitan hingga Solo bergabung di Semarang untuk mempertahankan kemerdekaan,” terang Nursahit.

Selanjutnya pada Mei 1947, Markas Batalyon II Resimen 26 Pacitan dipindahkan ke Sumowono untuk menghalau pergerakan militer Belanda.

Perpindahan itu dilakukan karena wilayah Jabar sudah dikuasai militer Belanda, dan mereka bergerak menuju Yogyakarta ibu kota negara yang dipindahkan sementara karena situasi perang.

Baca Juga  Disdag Terapkan Sistem Lelang Pengelolaan Parkir di Pasar Tradisional

Lalu pada Juni 1947 pertempuran terjadi di mana-mana, dan para Bomber Jiwa bergabung. Saat itu tentara Belanda menuju Ungaran dari Semarang.

“Ada 46 pelajaran STM yang bergabung, namun mereka berpencar di berbagai titik di Kota Semarang hingga Ambarawa,” jelasnya.

Rusak Akses dengan Bom

Kala itu, Bomber Jiwa banyak meledakan sejumlah akses dan jembatan yang saat ini masih digunakan oleh masyarakat Kota Semarang.

Adapun untuk jembatan, yakni Jembatan Kaligarang, dan jalan naik ke Gombel. Jembatan tersebut di hancurkan menggunakan bom rakitan yang bahan peledaknya hasil rampasan Jepang.

“Sementara di tanjakan Gombel akses jalan dirusak dan ditanami bom,” ucapnya saat ditemui di rumahnya di daerah Jatingaleh.

Jembatan dan jalan yang diledakan tadi memang jadi akses penting karena digunakan untuk membawa alat-alat berat.

“Saat itu mereka membawa alat berat seperti tank dan mobil 4×4, jadi kiprah Bomber Jiwa sangat krusial saat itu. Sampai-sampai kerena ulah Bomber Jiwa pasukan Belanda memutar jalan untuk menuju Ungaran melalui Gunungpati,” paparnya.

Baca Juga  Menteri Karding Dirikan Migran Center di Undip

Siasat Militer Belanda tadi tampaknya percuma karena jembatan dan akses jalan di sana juga dihancurkan oleh jaringan Bomber Jiwa yang lain.

“Kondisi itu terjadi hingga 1949, atas aksi para Bomber Jiwa pasukan Belanda tidak bisa secara langsung menggempur Yogyakarta,” kata purnawirawan TNI yang kini berusia 83 tahun itu.

Nurashit lalu membeberkan, kendati Jogja terjadi Serangan 1 Maret 1949, namun hal itu tidak terlalu parah karena pasukan Belanda tertahan lama dari 1947 sampai 1948.

“Aksi-aksi Bomber Jiwa diakhiri melalui Konferensi Meja Bundar November 1949, karena dari pertemuan itu Belanda mengakui kedaulatan Indonesia,” imbuhnya.

Usai tahun-tahun yang penuh dengan ledakan dan perang itu, Bomber Jiwa lenyap tanpa bekas. Meski demikian kiprah mereka diakui oleh para pejuang.

“Saat saya bergabung dengan TNI di tahun 1950, saya tidak pernah bertemu dengan mereka. Namun aksi mereka masih terekam di ingatan saya,” tandas Nursahit. (IJ02)

Back to top button