Hukum & Kriminal

Korupsi Pertamina, IPW Desak Kejagung Tidak Tebang Pilih

inilahjateng.com (Jakarta) – Indonesia Police Watch (IPW) menyatakan dukungan terhadap langkah Presiden Prabowo Subianto dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana tercantum dalam Asta Cita.

Namun, IPW juga menyoroti dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang di PT Pertamina (Persero) yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menegaskan Kejaksaan Agung harus bertindak profesional dan tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum.

“Jangan sampai niat mulia Kepala Negara justru dinodai oleh praktik impunitas atau penyalahgunaan kewenangan dalam penyidikan kasus korupsi,” tegas Sugeng, dalam keteranganya tertulisnya kepada inilahjateng.com, Jumat (7/3/2025).

Erick Thohir dan Dugaan Perlindungan Hukum Prematur

IPW menyoroti pernyataan Kejaksaan Agung yang terlalu dini menyatakan bahwa Menteri BUMN Erick Thohir tidak terlibat dalam kasus ini.

IPW menilai pernyataan tersebut seakan menjadi “pencuci bersih” Erick Thohir, padahal penyidikan masih berlangsung.

“Seharusnya, semua pihak yang berkaitan tetap terbuka untuk diperiksa, termasuk Erick Thohir yang saat kasus ini terjadi menjabat sebagai Menteri BUMN,” tambah Sugeng.

IPW juga menyoroti pertemuan antara Erick Thohir dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di Kejaksaan Agung, yang dinilai melanggar etika hukum karena membahas kasus Pertamina saat Kejaksaan sedang mengusut dugaan korupsi yang melibatkan anak buah Erick.

IPW pun mendesak Presiden Prabowo untuk mencopot Jaksa Agung Burhanuddin, Erick Thohir, dan Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah, jika ingin benar-benar menegakkan Asta Cita dalam pemberantasan korupsi.

Baca Juga  Menerima Audiensi Kakorlantas, AHY Minta Masalah Kendaraan ODOL Harus Tuntas Demi Keselamatan Rakyat

Ketidakwajaran dalam Penyidikan Kasus Pertamina

IPW juga mempertanyakan arah penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung, terutama terkait dugaan kerugian negara akibat impor dan ekspor minyak.

Penyidik mengklaim bahwa kerugian negara mencapai:
• Rp35 triliun dari ekspor minyak mentah dalam negeri
• Rp2,7 triliun dari impor minyak mentah melalui broker
• Rp9 triliun dari impor BBM melalui broker

Namun, IPW menyoroti kejanggalan dalam penyidikan. Tidak ada satu pun pihak swasta dari cluster pelaku impor dan ekspor minyak yang ditetapkan sebagai tersangka.

Sebaliknya, penyidik justru menetapkan seorang pengusaha muda, Muhammad Kerry Andrianto Riza, sebagai tersangka, meskipun perusahaannya, PT Orbit Terminal Merak (OTM), memiliki kontrak legal dengan Pertamina Patra Niaga dalam pengadaan jasa Intank Blending, Injection Additive/Dyes, Intertank, dan Analisa Samping.

“Ini aneh. Akar masalah dugaan korupsi justru ada pada pihak yang melakukan impor dan ekspor minyak, tetapi mereka tidak tersentuh. Malah, pengusaha yang memiliki kontrak legal dengan Pertamina yang dijadikan tersangka,” ujar Sugeng.

Blending BBM Bukan Oplosan

Kerry Andrianto diduga membantu kejahatan dalam “pengoplosan” BBM untuk mengubah RON 88 dan RON 90 menjadi RON 92.

Namun, IPW menegaskan yang dilakukan bukanlah pengoplosan, melainkan blending, yang merupakan praktik sah dalam industri migas.

Baca Juga  Edarkan Narkoba di Sukoharjo, 2 Mahasiswa Diamankan Polisi

Blending bertujuan meningkatkan kualitas BBM dan diatur dalam:
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008
• Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004

Selain itu, IPW mengungkapkan penyidik tidak memiliki hasil uji laboratorium untuk membuktikan dugaan pengoplosan BBM.

Bahkan, pada 4 Maret 2025, Kejaksaan Agung meralat pernyataannya dan mengakui kasus yang mereka tangani adalah blending, bukan pengoplosan.

“Ini bukti jika sejak awal ada kesalahan fatal dalam penyidikan. Akibatnya, Pertamina dirugikan dan kepercayaan konsumen terhadap SPBU nasional menurun, sehingga mereka beralih ke SPBU asing,” papar Sugeng.

Tidak Ada Perbuatan Melawan Hukum

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI pada 26 Februari 2025, disimpulkan blending adalah proses yang umum dalam industri migas dan bukan merupakan tindakan ilegal.

Bahkan, Pertamina sendiri mengakui merekalah yang melakukan blending, bukan PT Orbit Terminal Merak atau Muhammad Kerry Andrianto Riza.

“Jika blending memang dianggap melanggar hukum, maka yang seharusnya bertanggung jawab adalah Pertamina, bukan perusahaan mitra yang menjalankan kontrak sah,” kata Sugeng.

Lebih lanjut, IPW menjelaskan kontrak antara PT Orbit Terminal Merak dan Pertamina sudah berlaku sejak 2014 dan sah berdasarkan KUH Perdata serta Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-04/MBU/09/2017.

Status Beneficial Owner Tak Bisa Dijadikan Dasar Pidana

IPW juga menyoroti Kerry Andrianto ditetapkan sebagai tersangka hanya karena statusnya sebagai Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa.

Baca Juga  Dua Hari Kerja, Mahasiswi di Semarang Kehilangan Motor

“Dalam hukum pidana Indonesia, seseorang tidak bisa dipidana hanya karena jabatannya, tanpa bukti keterlibatan langsung dalam tindak pidana,” jelas Sugeng.

Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung yang menegaskan pertanggungjawaban pidana bersifat individual dan tidak bisa didasarkan pada kedudukan seseorang dalam suatu perusahaan.

IPW bahkan mencurigai ada upaya untuk menyingkirkan pelaku usaha lama agar digantikan dengan pemain baru.

IPW juga menilai penetapan Muhammad Kerry Andrianto Riza sebagai tersangka tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan hanya akan mencederai upaya pemberantasan korupsi yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto.

“Jika Asta Cita dalam pemberantasan korupsi benar-benar ditegakkan, maka Presiden harus turun tangan dan memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan kasus ini,” tegas Sugeng.

Dalam kesempatan tersebut IPW mendesak agar:
1. Kejaksaan Agung transparan dan profesional dalam penyidikan kasus korupsi Pertamina.
2. Seluruh pihak yang terlibat dalam impor dan ekspor minyak turut diperiksa, termasuk aktor intelektual yang sebenarnya.
3. Kriminalisasi terhadap Muhammad Kerry Andrianto Riza dihentikan karena tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan.
4. Presiden Prabowo Subianto mencopot Jaksa Agung, Erick Thohir, dan Jampidsus Kejagung jika terbukti terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan kasus ini.

IPW menegaskan pemberantasan korupsi tidak boleh dijadikan alat untuk kepentingan tertentu, melainkan harus dilakukan secara transparan, adil, dan profesional. (RED)

Back to top button