Jateng

Lestarikan Tradisi, Warga Pedurungan Rayakan Syawalan Kupat Jembut

inilahjateng.com (Semarang) – Tradisi Syawalan atau satu pekan setelah Hari Raya Idul Fitri masih banyak dirayakan oleh sebagian besar masyarakat, salah satunya warga Pedurungan Kota Semarang.

Tradisi Syawalan yang dilakukan warga Pedurungan ini adalah membuat Kupat Jembut.

Tradisi yang menjadi momen puncak Hari Raya Idul Fitri ini diawali dengan membuat kult yang tidak hanya untuk dikonsumsi pribadi namun juga dibagi-bagikan dengan cukup meriah.

Prosesi pembagian Kupat Jembut dimulai setelah warga selesai menjalankan salat subuh.

Biasanya ada dua lokasi penyelenggaraan di Kecamatan Pedurungan, yakni di Kampung Jaten Cilik atau Tlogomulyo dan di Pedurungan Tengah.

Kemeriahan Kupat Jembut selalu terjadi di Kampung Jaten Cilik yang konon merupakan cikal bakal tradisi Kupat Jembut.

Baca Juga  Direktur KITB: Jangan Sampai Batang Jadi Menara Gading

Ketika warga sudah selesai menjalankan salat subuh di Masjid Roudhotul Muttaqinanak-anak berlarian di jalanan. Bunyi-bunyi petasan dinyalakan sehingga membuat suasana makin meriah.

Anak-anak yang berlarian sambil membawa plastik dan hilir mudik dari satu rumah ke rumah lain serta mendatangi masjid karena takmir sudah menyiapkan kupat-kupat dengan tampah.

Ada empat tampah yang disajikan dan siap dibagi. Kupat itu juga sebelumnya sudah didoakan. Anak-anak makin senang, karena ada beberapa warga yang menyiapkan uang untuk dibagikan.

“Senang sekali ini dapat ketupat isinya ada uangnya. Kalau kumpul mau buat beli handphone,” kata salah satu anak, Abid, Senin (7/4/2025).

Kupat Jembut tentu saja bukan arti secara harfiah.

Imam Masjid Roudhotul Muttaqin di Kampung Jaten Cilik, Munawir menjelaskan bagaimana sejarah panjang tradisi ini.

Baca Juga  Nekat Naik Saat Status Siaga III, 20 Pendaki Ilegal Gunung Merapi Diamankan

Pasca dampak perang dunia di tahun 1950-an, warga Pedurungan yang mengungsi ke daerah Demak dan Purwodadi karena serangan sekutu kembali ke daerahnya sebelum bulan Ramadan.

“Sekutu pulang tahun 1951. Warga kembali ke wilayah masing-masing, dari Jaten Cilik, Gasem, Kudan, Pedurungan Lor, Tanjungsari, semua kembali,” kata Munawir.

Saat itu warga masih serba kekurangan.

Maka ketika perayaan Syawalan warga berbagi ketupat dibelah dan diberi sayuran berupa kecambah.

Ketika kupat telah matang, sayuran kecambahnya terlihat menjuntai.

Ada makna juga dalam ketupat itu yaitu menandakan Lebaran sudah berakhir dan simbol saling bermaafan.

“Dalam kesederhanaan, ada perayaan Syawalan, maka diadakan ketupat yang dibelah tengahnya, sebagai tanda Lebaran hari raya sudah selesai, silahkan beraktifitas biasa. Simbol sudah bermaafan diantara teman, saudara, tetangga. Simbol kesederhanaan, perayaan tidak harus mewah tapi penuh makna,” terangnya.

Baca Juga  Arus Balik Menurun, Jalur Tol Saltiga-Semarang Dinormalisasi

Penamaan Kupat Jembut sendiri merupakan plesetan untuk mudah mengingat.

Nama itu makin tenar di tahun awal 2.000-an.

Seiring berjalannya waktu warga menyisipkan uang untuk dibagi ke anak-anak.

“Tahun 90-an itu pernah ketupat kosong (kulitnya saja) terus diisi uang,” bebernya.

Munawir menyebut, tradisi kupat jembut ini sempat dijadikan simbol perlawanan terhadap komunis.

Warga mengganti ketupat dengan perasan saat Syawalan dan menyalakannya.

“Ada perkembangan dalam perayaan, dulu tahun 1965 waktu G30S PKI yang dibagi mercon, bukan ketupat. Simbol perlawanan terhadap komunisme,” pungkasnya. (LDY)

 

Back to top button