Mahfud MD Ungkap Alasan Luhut dan Erick Masuk ke Bisnis PCR
Menko Polhukam Mahfud MD angkat bicara terkait polemik bisnis alat test PCR yang menyeret dua menteri dalam kabinet yakni Menko Manves Luhut Panjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Menurut dia apa yang dilakukan kedua menteri tersebut untuk terjun ke bisnis alat test PCR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat awal-awal pandemi COVID-19. Saat ini masyarakat sedang panik karena penyebaran virus asal China ini sangat tinggi di Indonesia.
“Semula LBP, Erick Thohir dan kawan-kawan membentuk sebuah yayasan untuk membantu masyarakat dalam pengadaan obat dan alat tes COVID. Yayasan tersebut mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang, antara lain, melakukan pengadaan PCR yang distribusinya ada yang berbayar dan ada yang digratiskan,” kata Mahfud saat menjadi keynote speaker pada webinar yang bertajuk ‘Menguji Konsistensi Kebijakan Penanganan Pandemi COVID-19 terhadap UUD 1945’ seperti dikutip Minggu (14/11/2021).
Dia menjelaskan, sebelum polemik soal bisnis alat test PCR, pemerintah juga sempat dikritik soal penggunaan anggaran terkait COVID-19 yang banyak dinilai akan menimbulkan penyimpangan karena Perppu Nomor 1 tahun 2020 dianggap sebagai alat untuk merampok uang negara.
“Menurut hukum keuangan, pemerintah bisa dianggap melanggar UU jika belanja APBN mengalami defisit anggaran lebih dari tiga persen dari PDB. Nah, waktu itu untuk menanggulangi COVID-19 diperkirakan akan terjadi defisit lebih dari tiga persen, sehingga untuk melakukan tindakan cepat, pemerintah membuat perppu,” kata Mahfud.
Namun, dalam prosesnya DPR menyetujui perppu itu dan mengubahnya menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) juga memperkuatnya dengan mengubah frasa dalam undang-undang tersebut khususnya untuk pasal 27 ayat (2).
“Ternyata DPR menyetujui perppu tersebut menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, dan setelah diuji UU tersebut dibenarkan oleh MK. Malah, MK memperkuat frasa yang ada di Pasal 27 ayat (2) bahwa pejabat dianggap tidak melanggar hukum jika menggunakan anggaran dengan besaran apa pun ‘selama dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan’, oleh MK, frasa tersebut dikuatkan ke Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) sebagai ‘conditionally constitutional’,” katanya.
Mahfud menambahkan, pada 2020 Presiden Jokowi juga mengajak peran serta masyarakat untuk ikut menaggulangi COVID-19, karena adanya kelangkaan alat kesehatan karena tingginya kasus COVID-19 di tanah air.
Sebab saat itu Indonesia harus berebut dengan negara-negara lain untuk pengadaan obat dan alat kesehatan guna menaggulangi pandemi ini.
“Atas seruan presiden itu, muncullah kegiatan industri masker di berbagai daerah, muncul obat-obatan tradisional seperti minuman pokak dari Jawa Timur, ramuan telur-jahe, obat sedot antivirus, dan sebagainya,” lanjutnya.
Setelah itu, adanya penelitian kreatif lainnya dari berbagai kampus di Indonesia. Dalam penelitan itu UGM melahirkan tes GeNose untuk mendeteksi ada tidaknya virus Corona yang masuk ke tubuh manusia.
“Bermunculan pula hasil penelitian kreatif dari berbagai kampus. Dari UGM, misalnya, lahir GeNose, dan dari Universitas Airlangga (Unair) lahir lima racikan obat untuk mengobati COVID-19 sesuai dengan tingkat komplikasinya,” ungkapnya.
Dari hasil penelitian itu, Luhut dan Erick Thohir ikut mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (SGI) untuk merespons seruan dari DPR. Pengadaan PCR yang didistribusikan oleh yayasan tersebut ada yang berbayar dan ada yang gratis.
“Saya tak bermaksud membela LBP dan Erick, saya hanya menjelaskan konteks kebutuhan ketika dulu kita diteror dan dihoror oleh COVID-19, dan ada kebutuhan gerakan masif untuk mencari alat tes dan obat. Silakan terus diteliti, dihitung, dan diaudit. Masyarakat juga punya hak untuk mengkritisi. Nanti akan terlihat kebenarannya,” ucapnya.