Jateng

Masuk Penyebab Kematian Tinggi, Kasus TBC di Solo Melonjak

inilahjateng.com (Solo) – Tren penemuan kasus TBC di Kota Solo terus mengalami peningkatan sejak tiga tahun terakhir. Peningkatan kasus tersebut didominasi oleh usia produktif. 

Dari data Dinas Kesehatan Kota Solo mencatat, peningkatan kasus TBC terhitung mulai dari tahun 2021 hingga tahun 2023.

Pada tahun 2021 ditemukan sebanyak 1.225 kasus, kemudian pada tahun 2022 ditemukan 2.112 kasus TBC.

Lalu pada tahun 2023 sampai dengan 4 Desember 2023 ditemukan 2.393 kasus TBC. 

Sementara itu, dari data yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Solo sejak 2021-2023, kasus TBC anak terus meningkat.

Di tahun 2021 ditemukan 170 kasus TB pada anak dari 1.225 total temuan kasus. Lalu pada tahun 2022 melonjak menjadi 612 kasus TB dari 2.112 temuan kasus.

Baca Juga  Harmoni Malam, PT Naga Baladika Santuni Yatim dan Pagelaran Budaya

Kemudian di tahun 2023 kembali naik 711 kasus TB anak dari 2.303 total kasus TB yang ditemukan di Kota Solo. 

Kabid Pencegahan dan Pengendalian penyakit Dinas Kesehatan Kota Solo, Tenny Setyoharini, mengatakan, penularan TBC sendiri berasal dari percikan dahak penderita.

“Penderita TBC sendiri dapat diketahui dari gejala batuk yang sering, lebih dari 3 minggu. Sebaiknya menghindar jika ada penderita. Atau sebaiknya jika batuk memakai masker, agar tidak menulari lainnya. Kalau berdahak sembarangan tentunya itu jadi potensi penularan,” terang Tenny, Kamis, (7/12/2023).

Meski demikian berbagai upaya terus dilakukan Dinas Kesehatan Kota Solo. Salah satunya dengan berkolaborasi dengan lintas sektor. 

“Makanya edukasi berdahak yang benar harus diedukasikan. Oleh karena itu pemerintah tidak bisa berusaha sendiri. Kolaborasi dengan lintas sektor, Kota Solo memberanikan diri 2025 agar kita berusaha mengakhiri TBC,” imbuhnya. 

Baca Juga  Mahasiswa USM Sosialisasi Dampak Media Sosial di Kalicari

Anggota DPRD Komisi IV Kota Surakarta, Anna Budiarti, mengatakan bahwa penderita TBC bisa diobati dan disembuhkan.

Namun pengobatan pada penderita minimal membutuhkan waktu selama kurang lebih 6 bulan. 

“Ketika orang TBC, lingkungannya harus mendukung. TBC termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia. Kalau memang diperlukan Perda kita akan dukung. Apakah ada cantolan undang- undang diatasnya. TBC sangat berbahaya, perlu perda memayungi,” katanya.

Sementara itu menurut Komunitas Mentari Sehat Surakarta, komunitas yang bekerja sama dengan dinkes untuk penanggulangan TBC.

Dari beberapa kasus ada kejadian serumah menderita TBC. Dikarenakan tingkat kesadarannya masih rendah, lalu TBC masih menjadi stigma dan pemahamannya masih kurang.

“Salah satu wilayah yang besar itu di Jebres, sekitar mungkin hampir 50 %. Karena lingkungannya padat juga masyarakatnya. Didukung dengan kondisi tempatnya agak kumuh, rumahnya tidak mendukung syarat ventilasinya. Beberapa terkadang ada warga atau masyarakat enggan periksa karena ketakutan menjadi stigma. Sehingga dia takut melaporkan ke puskesmas atau layanan setempat,” ucap pelaksana program SSR MSI Kota Solo, Rishan Mohammad Mahfud. (DSV)

Back to top button