Pakar Hukum Sebut Rampas Harta Koruptor Lebih Menakutkan dari Penjara

inilahjateng.com (Solo) – Alih-alih memenjarakan, lebih baik koruptor dibuat miskin. Begitu pandangan Prof. Pujiyono Suwadi, Guru Besar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, saat menanggapi wacana penerapan sanksi denda dalam perkara korupsi.
Menurut Pujiyono, mekanisme denda atau “damai denda” memiliki dasar hukum yang kuat.
Ia merujuk Pasal 35 dalam Undang-Undang Kejaksaan, di mana sanksi pidana ekonomi bisa dikenai sanksi berupa denda tunai. Konsep ini menurutnya bisa dikembangkan untuk menjerat koruptor.
“Bukan tidak mungkin, korupsi dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi. Maka pendekatannya pun bisa ekonomis – bukan semata pemenjaraan,” kata Pujiyono, Jumat (27/6/2025).
Ia menegaskan, pendekatan ini bukan ide liar. Sama halnya dengan konsep restorative justice, sanksi denda bisa lahir dari kebijakan institusional, bukan semata undang-undang.
“Selama ini restorative justice hanya berdasar Perkap atau Perja, bukan UU. Maka denda damai pun bisa menjadi inovasi hukum berbasis kebutuhan nasional,” imbuhnya.
Pujiyono juga menyoroti tuntutan sebagian masyarakat yang menginginkan koruptor dihukum mati. Namun, menurutnya, pendekatan ekstrem tersebut belum tentu ampuh.
Ia mencontohkan indeks persepsi korupsi negara-negara yang sudah menerapkan hukuman mati, seperti China, tidak menunjukkan perbaikan signifikan.
“China saja skornya masih 4,2. Indonesia 3,7. Jadi, tidak otomatis hukuman berat membuat orang takut korupsi,” terangnya.
Pujiyono mengusulkan mekanisme denda lipat ganda sebagai langkah yang lebih masuk akal dan berkeadilan.
Misalnya, pelaku korupsi dikenai denda lima sampai sepuluh kali dari nilai kerugian negara yang ditimbulkan.
“Korupsi Rp1 miliar, didenda Rp10 miliar. Ini membuat negara untung, pelaku jera, dan masyarakat puas,” katanya.
Ia juga menyebut, pemiskinan koruptor lebih menyakitkan ketimbang hukuman fisik.
“Penjara bisa nyaman, tapi kalau harta dirampas, mereka benar-benar merasakan akibatnya,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengakui ide tersebut hanya bisa dijalankan jika ada keberanian dari pemangku kebijakan. Perlu dukungan politik dan perubahan pola pikir masyarakat.
“Selama publik masih berpikir ‘keadilan itu harus penjara’, akan sulit. Padahal, hukum bisa fleksibel asal adil dan memberikan efek jera,” tutupnya. (AKA)