JatengNasional

Pesona “Where the Cross is Made” karya Eugene O’Neill

inilahjateng.com (Semarang) – Teater Gema Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) sukses menggelar pertunjukan teater bertajuk Where the Cross is Made karya Eugene O’Neill di Gedung Balairung UPGRIS, Kamis (5/11/2024), malam.

Drama klasik ini, yang ditulis pada 1923, diterjemahkan oleh asisten sutradara Kartikawati dan disutradarai oleh Afrian Baskoro.

Pementasan berdurasi 90 menit ini mengundang 1.000 penonton dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, pelaku teater, hingga masyarakat umum dari dalam dan luar Kota Semarang. Dengan setting rumah berbentuk kapal besar dan akting memukau dari empat aktor utama, pertunjukan ini menghidupkan cerita yang sarat emosi.

Naskah drama satu babak ini mengisahkan kehidupan Nat Bartlett, yang terperangkap dalam bayang-bayang obsesi ayahnya, Kapten Isaiah Bartlett, seorang mantan kapten kapal yang kehilangan kewarasannya. Kisahnya mengangkat trauma keluarga, dengan garis tipis antara kenyataan dan ilusi.

Baca Juga  Pembagian Makan Siang Bergizi di TPA Jatibarang Semarang.

“Pentas produksi akhir tahun ini mengangkat isu yang merespon fenomena sosial di masyarakat, yaitu parenting, dan dampak psikologis anak atas pola asuh orang tua yang obsesif,” ujar Baskoro, sang sutradara.

Afrian Baskoro memilih naskah ini karena relevansinya dengan fenomena sosial masa kini. Ia berharap, melalui pentas ini, masyarakat dapat lebih memahami pentingnya pola asuh yang sehat. 

“Harapannya dengan mengangkat isu pendidikan orang tua ke anak ini, masyarakat lebih berhati-hati dalam menanamkan nilai-nilai ke anaknya, jangan sampai anak-anak mengalami pengalaman traumatis seperti yang dialami tokoh Nat,” lanjutnya.

Salah satu pemeran utama, Akhmad Sofyan Hadi alias Ian, seorang guru dari Kabupaten Kendal, memerankan Kapten Isaiah Bartlett dengan penuh intensitas. 

Baca Juga  PT Bitratex Ajukan PHK Sesuai UU Kepailitan

“Sebuah kehormatan bagi saya bisa ikut andil menjadi aktor dalam pentas ini. Harapannya pentas ini mampu meneror siapa saja yang menyaksikan,” katanya.

Ian juga menyoroti elemen historis dalam drama ini. “Bahwa sebelum ramai dunia menggunakan minyak bumi, ternyata perburuan paus lebih dahulu ada untuk diambil minyaknya. Juga peristiwa-peristiwa lain di dalamnya seperti obsesi seorang ayah kepada anaknya sehingga membuat batas kenyataan dan ilusi menjadi nyaru,” tambahnya.

Pertunjukan ini semakin hidup dengan ilustrasi musik dan desain latar yang menyerupai rumah pesisir berbentuk kapal, membawa penonton ke atmosfer petualangan pemburu paus.

Ahmad Ripai, pembina Teater Gema, menutup dengan harapan besar atas pentas ini. “Pertunjukan teater kali ini sangat meriah karena ternyata penonton sangat antusias, bukan hanya dari seniman teater tapi juga masyarakat luas. Semoga pertunjukkan ini tidak hanya menyajikan tontonan tapi juga tuntunan,” tambahnya. (BDN)

Back to top button