Ekonomi & Bisnis

Saat Beras Mahal, DPR Dorong Pemerintah dan Swasta Bantu Petani

Di tengah mahalnya harga beras, anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan mengapresiasi peran swasta dalam mendorong kesejahteraan petani. Di sisi lain, pemerintah perlu memberikan insentif bagi petani yang mengalami gagal panen akibat kemarau, dampak El Nino.

“Kita apresiasi kalau ada industri beras yang benar-benar berkomitmen dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Yang tak kalah pentingnya, pemerintah perlu hadir untuk memproteksi petani yang mengalami gagal panen. Akibat kemarau, dampak El Nino,” papar politikus PKB itu, Jakarta, Senin (18/9/2023).

Bencana kekeringan akibat kemarau panjang, kata dia, mulai berdampak pada lahan pertanian di sejumlah wilayah. Sebut saja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, lahan pertanian terancam gagal panen. Demikian pula lahan pertanian di Bekasi, sawah seluas 3.618,5 hektare dalam ancaman.  “Petani di Kalimantan Barat, saat ini, was-was gagal panen, karena kemarau kali ini cukup parah,” kata Daniel.

Sementara, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Ngawi, Jawa Timur,  Supardi berharap, PT Wilmar Padi Indonesia (WPI) memperluas kemitraan dengan petani (Farmer Engagement Program). Langkah itu, terbukti cukup membantu meningkatkan kesejahteraan petani.

Baca Juga  JPEN Luncurkan Tabung CNG untuk Dukung Program Makan Bergizi Gratis

Kata Supardi, pihaknya selalu terbuka kepada investasi dengan syarat petani harus digandeng agar petani sejahtera. Sejak awal, WPI telah diminta untuk menggandeng langsung petani dalam bisnisnya. Sesuai dengan semangat Pemkab Ngawi yang ingin memotong mata rantai dalam penjualan gabah. “Baru Wilmar yang benar-benar bermitra dengan petani. Kalau bisa kami ingin seperti ini sampai seterusnya” kata Supardi.

Dia menilai, kemitraan tersebut terbukti  positif karena petani mendapatkan harga yang layak. Sebelum perusahaan masuk, informasi mengenai harga gabah ke petani sangat terbatas sehingga akses ke pasar minim dan harga lebih banyak ditentukan tengkulak. Pihaknya berharap, WPI bersedia menambah luas lahan kemitraan dengan petani yang saat ini mencapai 800 hektare (ha).

dengan lahan sawah yang totalnya seluas 50.715 hektare, produksi gabah di Ngawi, saat ini, mencapai 882 ribu ton per tahun. Tertinggi keenam di Indonesia. Sedangkan kebutuhan beras per tahun di Ngawi, mencapai 10 persen dari total produksi, sehingga perlu ada investasi penggilingan besar agar gabah petani bisa terserap. “Tahun ini, target produksi gabah dinaikkan menjadi 850-900 ton. Sehingga, peluang masih banyak untuk kemitraan,” kata Sunardi.

Baca Juga  Sido Muncul Siapkan Minuman Sehat untuk Gen Z dan Milenial

Masuknya WPI, kata dia, tidak menyebabkan pelaku penggilingan daerah, gulung tikar. Justru bisa terbangun sinergi dari pengilingan agar bisa hidup dan berkembang. “Saat ini ada 135 penggilingan kecil dan empat perusahaan penggilingan besar. Semuanya bersinergi,” jelas dia.

Ratna Esminar, pemilik penggilingan di Ngawi, mengaku, telah merasakan manfaat bermitra dengan WPI. karena adanya kepastian harga, kelancaran pembayaran dan akses pasar. Hal itu tidak hanya berimbas kepada kelangsungan bisnis, namun juga para petani yang telah bermitra dengannya. 

“Dulu saya harus cari-cari pembeli, minim info harga, sistem pembayaran antar pembeli beda. Kalau saya inginnya ada kontinuitas dan kepastian,” tutur Ratna.

Menurut dia, kemitraan tersebut telah membantunya mengembangkan usaha karena kemampuan perusahaan dalam menyerap gabah, terutama saat panen raya. Dia mencontohkan, sebelum bermitra, dia hanya memproses gabah maksimal 10 ton per hari, hanya jika ada pembeli yang pasti. Belum lagi, proses pembayaran yang baru cair lima hari kemudian sehingga berimbas terhadap pembayaran ke petani.

Baca Juga  Semangat Berbagi Idul Adha 1446 H, Bapekis dan Karyawan BRI Salurkan 961 Hewan Kurban untuk Masyarakat

“Dulu saya beli sesuai kemampuan penggilingan. Sekarang saya bisa beli sesuai stok gabah. Dulu satu rit (8-10 ton), sekarang bisa 5 rit. Bisnis saya tetap jalan, saya juga membeli gabah petani untuk disuplai ke perusahan,” ungkap Ratna, yang telah menjalani usaha penggilingan sejak 1997.

Ratna menambahkan, sebagai pelaku penggilingan, dia menyadari perlunya mengikuti perkembangan zaman, karena ada perubahan tuntutan pasar, yang memerlukan update teknologi dalam mengolah gabah. “Yang saya lakukan adalah bagaimana mendapat manfaat dengan adanya perusahaan,” kata dia.

Back to top button