Saat Menteri Nadiem Terpukau dengan Dunia Pesantren di Jawa Timur
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim
baru ini mengunjungi tiga pesantren di Jawa Timur yakni Lirboyo, Ploso, dan Tebuireng.
Ia memiliki kesan tersendiri ketika berbincang-bincang dengan para kiai yang sangat terbuka dan memiliki selera humor tinggi. Bahkan, Nadiem mengapresiasi budaya pesantren atau cara kiai dalam mengritik kebijakan pemerintah dan berbagai kelemahan dari sistem pendidikan di Indonesia.
“Kesan pertama saya adalah saya tidak bisa menahan diri, cekikikan terus ketika berbicara dengan para kiai di situ. Karena diskusinya sangat intelektual tetapi sangat lucu. Jadi jenis-jenis cara mengritik kebijakan-kebijakan pemerintah sangat transparan dan mengakui berbagai macam kelemahan dari sistem pendidikan kita,” kata Nadiem dikutip dari Antara.
Ia sangat terkesan dan menyukai dunia yang sangat terbuka seperti para kiai di pesantren. Bahkan budaya terbuka seperti di pesantren yang telah dikunjungi itu akan diciptakan di lingkungan Kemendikbudristek.
“Itu merupakan budaya NU yang sangat dekat dengan saya. Budaya ger-geran tetapi jujur. Bilang apa adanya. Saya senang dan mengapresiasi itu,” katanya.
Hal lain yang membuat Nadiem merasa kaget dan takjub dengan dunia pesantren adalah ketika melihat semangat para santri yang tidak pernah ditemukan saat ia berkunjung ke berbagai sekolah non-pesantren.
“Saya melihat wajah para santri yang senyum ceria. Karena kalau saya ke tempat-tempat lain wajahnya kadang masih stress karena adaptasi. Terus saya menyadari, santri tidak pernah PJJ (pembelajaran jarak jauh). Jadi mereka melewati pandemi ini tidak mengalami ketertinggalan pembelajaran atau learning loss, mereka lanjut saja,” terangnya.
Menurut Nadiem, model pesantren itu memiliki resiliensi atau kemampuan mental dan emosional untuk mengatasi krisis yang sangat tinggi. Pesantren memiliki keunggulan tersendiri di masa pandemi ini.
“Karena mereka tidak mengalami trauma dari learning loss dari PJJ. Itu merupakan satu hal kekuatan dari model pesantren,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj meminta Nadiem Makarim untuk mampu menjembatani gap atau jarak intelektual antara standar keilmuan pesantren dengan perguruan tinggi atau sekolah umum.
Standar keilmuan di pesantren, Kiai Said mencontohkan, harus menghafal 1.000 bait Alfiyah, Al-Qur’an, dan khatam Kitab Fathul Muin atau Fathul Wahab. Namun standar keilmuan ini dipandang sebelah mata bagi perguruan tinggi.
Sebab perguruan tinggi memiliki standar keilmuan tersendiri. Misalnya, kata Kiai Said, harus sudah menempuh pendidikan hingga tingkat doktoral di bidang spesifik. Namun, capaian seperti ini juga tidak dipandang oleh para kiai pesantren.
“Nah, ini bagaimana menjembatani dua standar intelektual ini? Kalau tidak, selamanya akan seperti ini (memiliki gap intelektual sangat lebar),” katanya.