Ekonomi & Bisnis

Terkait Tarif AS, Pemerintah Jangan Korbankan Industri Lokal

inilahjateng.com (Jakarta) – Kebijakan tarif tinggi yang ditempuh Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump jelas bukan lagi sekadar manuver dagang.

Ini adalah bentuk proteksionisme terbuka yang memiliki efek domino global, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam situasi semacam ini, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan ekonomi yang tegas—bukan sekadar kompromi politik yang membingungkan.

Anehnya, alih-alih memperkuat pertahanan industri nasional, pemerintah justru mengisyaratkan pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Pernyataan Presiden Prabowo tentang rencana melonggarkan TKDN terdengar seperti langkah mundur di tengah medan pertempuran ekonomi global.

Seharusnya, kebijakan tarif AS disikapi sebagai peringatan untuk memperkuat struktur industri dalam negeri—bukan justru melemahkannya.

Jika relaksasi TKDN benar-benar terjadi, maka konsekuensinya sangat jelas: komponen impor yang lebih murah akan membanjiri pasar domestik.

Kita bukan hanya akan kehilangan pasar luar negeri karena tarif tinggi, tetapi juga kehilangan pangsa pasar dalam negeri karena produk asing akan semakin mudah masuk. Ini adalah serangan dari dua sisi yang bisa membuat industri lokal rontok.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang selama ini belum sepenuhnya teratasi akan berlanjut dan bisa saja membesar.

Jika industri dalam negeri tidak mampu bersaing, baik di luar maupun di dalam negeri, maka pengurangan tenaga kerja adalah keniscayaan. Dalam kondisi seperti ini, daya beli masyarakat akan makin anjlok dan krisis sosial tinggal menunggu waktu.

Sikap pemerintah yang terlalu lunak terhadap tekanan global hanya menunjukkan minimnya sense of urgency dalam menjaga kedaulatan ekonomi nasional.

Negara-negara lain yang juga terkena dampak kebijakan tarif AS kini sibuk membuka pasar baru, menjajaki kemitraan dagang alternatif. Sementara kita malah sebaliknya—sibuk membuka pintu bagi produk asing.

Baca Juga  Investasi Senilai Rp6 Triliun Masuk Jateng, Bakal Serap Ribuan Tenaga Kerja

Sebagai contoh, industri otomotif yang selama ini menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional akan sangat terdampak.

Saat ini, TKDN untuk kendaraan roda empat dan roda dua ditetapkan minimal 40%. Jika angka ini diturunkan, maka pabrikan asing akan punya ruang lebih besar untuk membanjiri pasar dengan produk murah berbasis impor, tanpa mendorong transfer teknologi atau penciptaan lapangan kerja lokal.

Kita tidak bisa menafikan bahwa tarif 32% yang dibebankan AS pada ekspor dari Indonesia adalah beban berat bagi pelaku industri.

Namun jalan keluar bukan dengan mengorbankan aturan main di dalam negeri. Pemerintah boleh melakukan negosiasi, tapi negosiasi itu harus dari posisi tawar yang kuat. Kita bukan negara kecil yang harus memohon belas kasih.

Jangan lupakan bahwa Trump pernah menyebut banyak negara sebagai pihak yang “menghisap” keuntungan dari AS. Dalam konteks ini, negosiasi hanya akan dihormati jika kita menunjukkan kemandirian dan kapasitas ekonomi yang kuat. Kelemahan dalam kebijakan domestik hanya akan memperburuk citra kita di mata mitra dagang internasional.

Tentu saja, pemerintah perlu memperkuat industri dalam negeri dari hulu ke hilir. Tidak cukup hanya mempertahankan TKDN, tapi juga memastikan bahwa industri memiliki insentif untuk berkembang.

Mulai dari ketersediaan bahan baku, energi murah, hingga dukungan riset dan inovasi harus menjadi prioritas kebijakan ekonomi.

TKDN yang ketat tidak akan berguna jika pemerintah membiarkan industri lokal bertarung sendirian. Kita butuh ekosistem pendukung yang kuat agar produk dalam negeri punya daya saing—baik dari sisi harga maupun kualitas. Pasar tidak peduli asal-usul produk; yang penting murah dan berkualitas.

Baca Juga  Ada Perbedaan Harga Bahan Pokok, Pemkot Segera Lakukan Intervensi

Oleh karena itu, daripada melonggarkan aturan TKDN, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kebijakan fiskal yang berpihak.

Beban pajak industri bisa dikurangi untuk memberi ruang adaptasi. Ini lebih masuk akal ketimbang membiarkan industri tenggelam dalam persaingan bebas yang timpang.

Kita juga perlu memperkuat posisi tawar internasional dengan menjalin aliansi strategis bersama negara-negara lain yang juga dirugikan oleh tarif AS.

Kerja sama semacam ini bisa menjadi dasar pembentukan pasar alternatif dan memperluas jaringan distribusi produk Indonesia di luar AS.

Pemerintah perlu mengubah paradigma dari konsumsi menuju produksi. Selama ini, kita terlalu bergantung pada pertumbuhan yang didorong konsumsi domestik, sementara sektor manufaktur terus melemah. Kebijakan tarif global ini justru bisa menjadi momentum untuk kembali ke jalur tersebut.

Industri kecil dan menengah (IKM) juga harus mendapat perhatian khusus. Mereka adalah tulang punggung ekonomi lokal yang kerap diabaikan. Dukungan terhadap IKM dalam bentuk akses pasar hingga pelatihan teknologi harus menjadi agenda utama pemerintah.

Jika sektor industri kolaps, maka tak ada lagi ruang bagi pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Sektor jasa, teknologi, dan lainnya membutuhkan landasan yang kuat, yaitu industri yang mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan nilai tambah di dalam negeri.

Kekacauan ekonomi global tidak bisa dihindari. Tapi dampaknya bisa diminimalkan jika kita punya kepemimpinan yang berpihak pada rakyat dan industri nasional. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk bangkit hanya karena kebijakan yang salah arah.

Baca Juga  Panen Raya di Sukoharjo, Gubernur Targetkan Produksi Padi 11,8 Juta

Jika pemerintah terus melonggarkan TKDN, maka bukan tidak mungkin kita akan melihat penutupan pabrik besar-besaran dalam waktu dekat. Ini bukan asumsi pesimis, tapi pandangan rasional berdasarkan tren kebijakan yang ada saat ini.

Pemerintah harus sadar bahwa setiap kebijakan ekonomi punya implikasi sosial-politik. Lonjakan pengangguran, melemahnya daya beli, dan ketimpangan ekonomi bisa memicu instabilitas yang jauh lebih berbahaya dibanding sekadar angka defisit atau neraca dagang.

Negara ini butuh keberanian untuk mengatakan “tidak” terhadap arus globalisasi yang merugikan. Kita tidak anti-perdagangan bebas, tapi kita juga tidak boleh buta terhadap kepentingan nasional yang harus dilindungi. Ini soal visi, bukan sekadar angka pertumbuhan.

Jika Presiden serius ingin mewujudkan kedaulatan ekonomi, maka ini adalah ujian pertamanya. Apakah beliau akan memilih jalan kompromi yang pragmatis, atau jalan berdaulat yang penuh tantangan namun bermartabat?

Saatnya menghentikan retorika tentang ekonomi kerakyatan jika yang dibela justru kepentingan asing. Industri dalam negeri bukan beban, tapi aset strategis yang harus dilindungi dengan segala cara.

Dalam dunia yang makin tidak pasti, pemerintah tidak bisa hanya jadi penonton. Kita butuh langkah konkret, cepat, dan berpihak. Bukan sekadar menunggu pasar menentukan nasib kita—tetapi ikut membentuk arah pasar itu sendiri. (RED)

Penulis:
Muhammad Nalar Al Khair
Peneliti Pangan, Desa dan UMKM di Sigmaphi Research, menyelesaikan S-2 Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia pada tahun 2020

Back to top button