Copycat Suicide Timbulkan Perilaku Serupa, Simak Penjelasannya

inilahjateng.com (Semarang) – Beredarnya unggahan isi dari surat wasiat di media sosial maupun media dari korban bunuh diri memicu tindakan copycat suicide.
Terlebih setelah adanya dua kasus diduga bunuh diri yang sedang hangat dibicarakan.
Dengan kejadian mahasiswi Udinus maupun Unnes di Semarang, mengahiri hidupnya dengan meninggalkan surat wasiat untuk orang di dekatnya.
Copycat suicide dapat diartikan sebagai bunuh diri peniru, istilah ini muncul, terkait fenomena peniruan aksi bunuh diri yang dilakukan oleh orang lain.
Dikutip dari netsweeper, copycat suicide merupakan perilaku bunuh diri tiruan yang dilakukan setelah terpengaruh oleh tindakan bunuh diri lainnya.
Secara umum, orang disebut melakukan copycat suicide, bisa diartikan, jika orang tersebut terprovokasi dari informasi yang beredar di medsos maupun pemberitaan soal metode bunuh diri yang digunakan.
Salah satu pemicu terjadinya copycat suicide adalah informasi media. Kasus bunuh diri yang mendapatkan perhatian besar dari media, dapat dimungkinkan berpeluang besar akan memicu kasus bunuh diri lainnya.
Sementara itu penelitian pada tahun 2015 pada Journal of Health and Social Behavior menemukan, remaja yang mengetahui adanya upaya bunuh diri teman memiliki risiko dua kali lipat untuk melakukan percobaan bunuh diri pada tahun berikutnya.
Risiko tersebut menjadi lebih besar jika teman tersebut benar-benar meninggal akibat bunuh diri.
Semua temuan ini menunjukkan berbagai cara bunuh diri tunggal dapat menyebabkan copycat suicide atau penularan bunuh diri.Â
Disisi lain, Dosen Psikologi dari Universitas Semarang (USM), Probowati Tjondronegoro menjelaskan, dari dua kasus yang diduga bunuh diri, Probowati menyimpulkan bahwa para korban sebetulnya butuh bantuan, dalam arti mengenali permasalahn dan penderitaan yang dipendam sendiri dan dinilai sendri.
“Apalagi putus cinta. Kalau anak zaman sekarang kan ibaratnya cinta itu segalanya. Ketika diputus pacarnya dia seperti nggak punya pegangan. Sampai akhirnya dia memutuskan sendiri, win solution adalah mengakhiri hidup,” ucapnya, Kamis (13/10/2023).
Selain itu, menurut Probowati, kurangnya komunikasi antar anak dan orang tua, juga pola asuh anak di dalam keluarga.
“Anak jadi bisa ngobrol sama orang tua secara terbuka tanpa takut punya kegiatan yg positif. Bisa membedakan kebutuhan dan keinginan,” kata dia.
“Remaja itu butuh aktualisasi diri. Namun ketika aktualisasi atau harapan ekspetasinya tidak tercapai, remaja bisa saja kecewa dan dari kekecewaan itu bisa menimbulkan depresi atau stres,” lanjutnya.
Probowati menambahkan, untuk menghindari peristiwa tersebut, dirinya meminta agar remaja lebih memperbanyak kegiatan positif, juga memperbanyak hubungan sosial.
“Alhasil apabila ada suatu permasalahan bisa berbagi ke orang terdekat dan jangan dipendam sendiri. Kalau butuh bisa datangi konseling agar bisa tahu permasalahan yang dihadapi,” imbuhnya. (AHP)Â