Pemenuhan Kompetensi, Pemerataan dan Kesejahteraan Guru Harus Jadi Perhatian Bersama

inilahjateng.com (Semarang) – Kolaborasi harmonis antara guru, orang tua dan peserta didik dalam memajukan pendidikan nasional harus konsisten diwujudkan.
Pemenuhan kompetensi dan pemerataan jumlah serta kesejahteraan guru harus menjadi perhatian.
“Tema Hari Guru tahun ini Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar harus dimaknai secara mendalam. Apakah kita siap dengan kecepatan perkembangan dunia pendidikan global dengan setumpuk pekerjaan rumah yang ada,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, Rabu (22/11/2023).
Menurut Lestari, upaya mewujudkan kolaborasi antarpemangku kepentingan di sektor pendidikan harus ditempatkan dalam koridor perkembangan pendidikan global dengan merealisasikan pendidikan berkualitas dan inklusif.
Sementara, Global Education Monitoring Report UNESCO 2023 mencatat sasaran implementasi teknologi dalam pendidikan di seluruh dunia diterapkan melalui pertimbangan relevansi, kesetaraan, skalabilitas dan keberlanjutan proses belajar.
Padahal, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, berdasarkan jumlah dan persebaran guru dan tenaga pengajar di tanah air, terdapat ketimpangan yang sangat signifikan.
Saat ini, ungkap Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI itu, jika dievaluasi sesuai prasyarat kualitas pengajar terdapat tiga keahlian penting yang harus dimiliki yakni kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogis dan kompetensi sosial.
Berdasarkan kondisi tersebut, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, pendidikan berkualitas dan inklusif mesti ditunjang dengan kemampuan negara memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan sehingga persoalan kompetensi guru maupun tuntutan lainnya dapat segera diatasi.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikburistek RI, Nunuk Suryani mengungkapkan bahwa sejatinya arah kebijakan program guru dan tenaga kependidikan merupakan bagian dari program prioritas nasional.
Diakuinya, pemerintah sudah berupaya melakukan percepatan proses peningkatan kualitas guru melalui pengangkatan guru honorer menjadi aparatur sipil negara pegawai dengan perjanjian kerja (ASN P3K) dan sejumlah program sertifikasi pendidik bagi para guru.
Jumlah guru saat ini, ungkap Nunuk, tercatat 2,8 juta orang dengan 1,5 juta guru di antaranya berstatus ASN.
Menurut Nunuk, hingga tahun ini ada penambahan sekitar 800 ribuan guru berstatus ASN P3K. Tahun depan diperkirakan ada tambahan sekitar 300 ribuan guru P3K.
“Ini capaian yang menggembirakan,” ujar Nunuk.
Sedangkan dari jumlah guru yang ada, tambah dia, saat ini tercatat 1,2 juta guru yang sudah sertifikasi.
Nunuk mengungkapkan, Kemendikbud Ristek saat ini sedang merancang desain untuk mengakselerasi proses sertifikasi melalui upaya program sertifikasi untuk 100.000 guru setiap tahun.
Dengan proses akselerasi itu, Nunuk memperkirakan, pada 2028 ada tambahan 1,6 juta guru yang tersertifikasi.
Diakuinya saat ini sudah sekitar 80% institusi pendidikan menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengunduh Program Merdeka Belajar.
Menurut Nunuk terjadi budaya belajar baru pada guru sehingga sudah mandiri lewat pemanfaatan sejumlah platform tersebut.
Sementara, tambah dia, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan inklusif, saat ini tercatat baru 4.721 guru pendidik khusus yang memiliki sertifikat.
Kepala Balitbang PB PGRI, Sumardiansyah Perdana Kusuma berpendapat untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan inklusif sejatinya harus sesuai dengan tujuan kebangsaan yang tercantum pada alinea empat pada pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jadi, jelas Sumardiansyah, manusia Indonesia harus memiliki kecerdasan multidimensional agar mampu membangun kehidupan mereka melalui mengembangkan potensi para peserta didik pada proses pendidikan.
Diakui dia, saat ini juga terjadi bias dalam tujuan pendidikan nasional, karena ranah spiritual belum disentuh.
Berdasarkan Pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945, ujar Sumardiansyah, sejatinya pendidikan yang inklusif bukan semata untuk anak yang berkebutuhan khusus, lebih dari itu juga mencakup anak-anak yang memiliki keterbatasan finansial untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Terkait politik anggaran, Sumardiansyah menilai, besaran APBN dan APBD belum peduli terhadap pendidikan. Karena, tambah dia, dari Rp612 triliun alokasi APBN untuk sektor pendidikan hanya Rp92 triliun yang dikelola Kemendikbudristek dan Rp69 triliun dikelola Kementerian Agama.
Idealnya, tegas dia, 20% anggaran pendidikan dialokasikan untuk sepenuhnya mendanai terkait persekolahan antara lain pendidikan gratis, kesejahteraan guru dan beasiswa anak.
Belum terwujudnya pendidikan berkualitas dan inklusif serta kesejahteraan guru, ungkap Sumardiansyah, juga disebabkan belum adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang ada.
Sebagai contoh, ujar dia, guru sebagai profesi diatur pada UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen itu harus sinkron dengan UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Melihat kompleksnya persoalan yang dihadapi dunia pendidikan nasional, Sumardiansyah berpendapat, harus ada omnibus law sektor pendidikan untuk mengatasi kondisi tersebut. (RED)