Inilah Penjelasan Sejarawan Terkait Banjir Demak Dikaitkan Selat Muria

inilahjateng.com (Semarang) – Belakangan banjir besar yang melanda wilayah Demak, Kudus dan Jepara dikaitkan dengan kemunculan bagian perairan yang lama hilang yakni Selat Muria.
Bahkan, di beberapa postingan media sosial diperlihatkan dalam peta masa lalu dimana Selat Muria berada di selatan Gunung Muria, memisah daratan Pulau Jawa dan Pulau Muria.
Sejarawan Universitas Diponegoro, Prof Singgih Tri Sulistiyono menjelaskan berdasarkan historical geografi rupa bumi kemudian bentuk muka bumi terus mengalami perubahan dan kebanyakan bersifat evolusi perlahan seperti pengikisan tanah, erosi dan sedimentasi sehingga akan mempengaruhi terjadinya perubahan geografi.
Demikian juga untuk Kawasan Muria seperti Demak, Kudus, Jepara, Pati, dan Rembang, sambungnya,
kalau dipelajari sejarah geologi indonesia itu memang dulu antara pulau jawa dengan Gunung Muria itu terpisah.
“Jadi terbentuk dari jutaan tahun atau 1000 tahun yang lalu itu terpisah sebetulnya sekitar awal-awal kedatangan orang Eropa ya abad ke 16 kemudian awal abad 17 itu berarti baru berapa tahun itu. Dari penampakan alam itu terdapat ada selat yang para ahli menamakan Selat Muria karena memisahkan antara daratan muria dan Pulau Jawa,” ujar Singgih saat dihungungi, Selasa (19/3/2024).
Lebih lanjut, Singgih menuturkan bahwa Selat Muria menghubungkan antara semarang kemudian pelabuhan Demak terus ke timur sampai ke ujungnya yakni Juwana.
Namun, dikarenakan ada proses sedimentasi selama ribuan atau jutaan tahun sesuai umur geologi Jawa dan muria artinya sedimentasi dari berbagai sungai seperti sungai lusi, dan sungai-sungai kecil yang lain akhirnya mengalami sedimentasi dari selat itu.
“Selat Muria juga menentukan berbagai peristiwa sejarah yang menyangkut wilayah-wilayah tersebut.
Tokoh Portugis yang bernama Time Pires, juga masih sempat menyaksikan adanya Selat Muria meskipun lumpur-lumpur sudah mengganggu pelayaran,” tuturnya.
Oleh sebab itu, ia menyebut mengapa Demak sempat terkenal sebagai kerajaan maritim karena pada waktu itu masih terletak dekat dengan pantai atau selat muria.
“Namun karena sedimentasi. Kota demak sampak masjid agung jadi berjarak puluhan kilometer dari garis pantai,” katanya.
Tak hanya terjadi di Demak, dirinya juga menyebut bahwa Semarang juga seperti kisah-kisah Sam Poo Kong yang dulunya adalah pantai tetapi sekarang berjarak 9 km dari garis pantai.
Kemudian Demak tadi, setelah mengalami sendimentasi akhirnya mengalami kemunduran sebagai kekuatan maritim ditambah adanya kisruh politik di dalamnya.
Dikarenakan sudah tidak bisa dijangkau oleh kapal, gelombang invasi barat pun akhirnya membelokan pelayarannya ke Semarang dan kelak jadi tempat VOC untuk berlabuh dan mengembangkan bisnisnya.
“Ceritanya seperti itu sehingga dampaknya sekarang karena tanahnya hasil sedikentasi itu akhirnya belim sepernuhnya punya ketinggian yang mencukupi untuk terjadinya kondisi yang tidak banjir. Sehingga wilayah itu menjadi wilayah yang rawan banjir ya,” tuturnya.
Lalu bagaimana dengan potensi kemunculan Selat Muria itu di tengah banjir Demak, Kudus dan Jepara, Singgih hanya menyatakan jika sejarah bisa jadi patokan.
Singgih menuturkan, hal itu bisa saja terjadi lagi mengingat saat ini kencangnya isu perubahan iklim dan banyaknya es yang mencari.
“Saya kira ini menarik untuk menjadi bahan pengetahuan generasi muda dan bahan pengambil kebijakan ya bagaimana mengatur tata ruang di wilayah-wilayah yang hasil sedimentasi kemudian ketinggiannya berapa sehingga harus tata penggunaan ruang publik itu seperti apa mana yang perlu ruang hijau mana perumahan, mana industri nah ini perlu dilakukan dengan metode ilmiah dan jangan dilanggar,” pungkasnya. (BDN)